Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abas yang kini membantu kepolisian untuk mengungkap jaringan terorisme, mencurigai Noordin M Top sebagai dalang peledakan bom di dua hotel di Jakarta, 17 Juli lalu.
"Saya curiga, ia (Noordin, red) melakukannya lagi. Artinya, masih ada kelompok jaringan lama yang beroperasi di Indonesia," katanya di sela sidang terbuka promosi doktor mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (25/7).
Menurut dia, ada lima pola yang terus terulang dari berbagai teror bom di Indonesia yang didalangi kelompok dari jaringan Noordin M Top. Target mereka sama, yaitu warga negara barat di Indonesia dengan teknis sama dengan cara pengeboman.
"Mulai dari kejadian Bom Bali pertama dan kedua, pengeboman di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, di Hotel JW Marriott pertama dan kedua sama, yakni dengan bom bunuh diri," katanya.
Pengeboman di beberapa tempat itu, menurut Nasir dilakukan jaringan Noordin M Top untuk menarik perhatian dunia, sehingga sasaran pengeboman mereka adalah tempat-tempat yang telah dikenal atau representasi dari dunia internasional.
Ia mencontohkan bom di Bali dilakukan karena Bali merupakan tempat wisata yang terkenal di dunia. Sedangkan beberapa hotel di Jakarta yang dibom, mulai dari JW Marriott dan Ritz-Carlton adalah hotel bertaraf internasional.
"Apalagi ada rencana para pemain Manchester United datang ke Jakarta. Momennya sangat tepat untuk menarik perhatian dunia," katanya.
Faktor terakhir yang turut mendasari peledakan bom khas jaringan kelompok Noordin adanya isu global yang sedang santer dibicarakan dunia internasional, bukan dilakukan karena terkait isu lokal. Menurut dia, kasus bom di Jakarta merupakan reaksi dari jaringan kelompok Noordin terkait penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) di Irak, namun menambah jumlah pasukan di Afghanistan untuk memerangi Taliban.
"Ledakan itu juga sepertinya menjadi jawaban atas pernyataan Presiden AS, Barrack Obama yang menyatakan akan memerangi Taliban," katanya.
Khusus untuk kasus bom di Jakarta, Nasir berharap aparat keamanan yang menyelidiki kasus tersebut tidak hanya terfokus pada gambar yang menayangkan orang terakhir yang mengenakan topi dan jaket hitam serta membawa koper hitam, sebelum terjadi ledakan bom yang selama ini diduga sebagai bom bunuh diri.
"Jangan sampai terkecoh, bisa saja antara orang yang ’check in’ di hotel dengan orang yang membawa koper sebelum ledakan terjadi adalah orang yang berbeda. Apa sulitnya menggunakan pakaian dan tas yang sama," katanya.
Sedangkan kecurigaan aparat keamanan bahwa perakitan bom dilakukan di dalam kamar hotel, menurut dia bisa saja terjadi, karena pengamanan di hotel hanya mengandalkan alat detektor baja, bukan detektor bahan peledak.
"Jika bahan peledak itu dibawa masuk secara bertahap, maka bisa saja lolos, apalagi jika bahan peledak tersebut dibungkus menyerupai kado, sehingga petugas keamanan tidak akan membukanya," katanya.
Nasir yang telah menghasilkan dua buku sejak tertangkap polisi pada 2003, dan menjalani hukuman dua tahun penjara itu, kini menjadi mitra polisi untuk mengungkap jaringan terorisme di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar